Warung Bebas
HOME SING IN LOG OUT
SELAMAT DATANG DI WITTO BLOG | TEMPAT NONGKRONG PARA BLOGGER | Voucher Bersama - Witto Blog - Tutorial Blog | SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN | MAAF ATAS KE TIDAK NYAMANANNYA

Selasa, 08 Februari 2011

Syarat Penerima Insentif Pajak Dilonggarkan

Selasa, 08 Februari 2011
2 komentar


Pemerintah melonggarkan kriteria syarat penerima insentif yang diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 62/2008 tentang Insentif Pajak Pengahasilan (PPh) untuk Investasi bidang Usaha Tertentu dan Wilayah tertentu.

Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Arryanto Sagala menjelaskan, hal itu dilakukan karena selama ini, kriteria-kriteria yang dipersyaratkan PP 62/2008 tidak dapat dipenuhi secara maksimal oleh investor baik lokal maupun asing.

Menurut Arryanto, salah satu kriteria yang akan diubah adalah terkait ketenagakerjaan. "Kami mengusulkan, syarat harus menyerap 1.000 tenaga kerja di investasi awal, diturunkan menjadi 300 orang. Investasi awal minimal Rp50 miliar. Banyak industri yang capital intensive, jadi tidak mungkin dipaksakan," kata Arryanto di Jakarta, Selasa (8/2/2011).

Selain itu, kata Arryanto, insentif fiskal bagi industri pionir tidak dikenakan syarat apa pun. "Pokoknya kalau industri pionir, terutama barang modal, tidak perduli investasi di Jawa atau luar Jawa tetap harus diberikan, tanpa syarat apapun," ujar Arryanto.

Menurut Arryanto, Kemenperin juga mengusulkan, perluasan pos tarif dari masing-masing kategori. Pada lampiran pertama PP 62 tersebut, industri manufaktur hanya memiliki 17 kategori.

Sedangkan, pada perubahan PP, Kemenperin mengajukan tambahan sekitar 21 pos tarif. Sehingga, pada lampiran pertama untuk pos tarif industri menjadi 38 pos tarif dan untuk lembaran kedua, Kemenprin mengajukan sekitar 23 pos tarif dari saat ini hanya terdapat sembilan pos tarif menjadi 32 pos tarif.

"Jadi, ada perluasan di bidang usahanya. Bidang usaha yang paling banyak mengalami peluasan adalah bidang industri agro, permesinan, dan elektronika," ucap Arryanto.

Saat ini, yang masuk dalam PP 62 adalah sektor pengembangan peternakan, Industri Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman, Penambangan dan Pemanfaatan Batubara Mutu Rendah (Low Rank Coal), Pengusahaan Tenaga Panas Bumi.

Lalu, kelompok Industri Susu dan Makanan dari Susu, Kelompok Industri Makanan Lainnya, Kelompok Industri Tekstil dan Industri Pakaian Jadi, Kelompok Industri Bubur Kertas (Pulp), Kertas dan Kertas Karton/Paper Board, Pengilangan Minyak Bumi (Oil Refinary).

Kemudian, pembangunan kilang mini gas bumi (Industri Pemurnian dan Pengolahan Gas Bumi), Kelompok Industri Bahan Kimia Industri, Kelompok Industri Barang-Barang Kimia Lainnya, Kelompok Industri Serat Buatan, Kelompok Industri Karet dan Barang dari Karet, Kelompok Industri Barang-Barang dari Porselin.

Selanjutnya untuk Kelompok Industri Logam Dasar Besi dan Baja, Kelompok Industri Logam Dasar Bukan Besi, Kelompok Industri Mesin dan Perlengkapannya, Kelompok Industri Motor Listrik, Generator, dan Transformator, Kelompok Industri Elektronika dan Telematika, Kelompok Industri Alat Angkut Darat, Kelompok Industri Pembuatan dan Perbaikan Kapal dan Perahu, serta Industri Pembuatan Logam Dasar Bukan Besi.

"Kita berharap revisi PP 62 bisa segera terbit.Sebenarnya, ditargetkan awal tahun lalu, tapi sepertinya banyak hambatan dan berjalan lambat. Kami harapkan Febuari ini sudah dapat selesai,"

read more

Selasa, 01 Februari 2011

BPS: Produksi cabai 2010 turun tajam

Selasa, 01 Februari 2011
0 komentar

Badan Pusat Statistik (BPS) telah menggelar inspeksi mendadak (sidak) keempat kabupaten sentra produksi cabai untuk mencari tahu penyebab harga cabai yang tinggi belakangan ini.


Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan keempat kabupaten itu yakni Brebes, Majalengka, Garut dan Tuban.

"Dari kajian kita, produksi cabai di sepanjang 2010 menurun drastis dan memang sangat mengganggu suplai pasar," ujarnya, hari ini.

Menurut dia, terdapat dua penyebab utama mengapa harga cabai meroket tajam. Pertama, ada trauma dari petani karena berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, harga cabai pernah mencapai Rp3.000 per kg sehingga petani merugi besar. Padahal, harga break event point semestinya di level Rp7.000-8.000 per kg.

"Jadi dia rugi besar. Ada dampak psikologis, jadi petani membiarkan saja lahannya tidak ditanami cabai, jadi ada pengurangan lahan," katanya.

Penyebab kedua, anomali musim menyebabkan produktivitas sangat menurun. Kurangnya sinar matahari, penyakit jamur, dan dampak lainnya pada tanaman cabai sangat mengganggu produksi.

"Tapi good newsnya adalah bahwa setelah kita kunjungi, Nilai Tukar Petani naik. Saya kemarin itu [hari Minggu lalu] membeli 30 kg cabai keriting, Rp40.000 per kg, padahal saya beli di perkebunannya dan metik sendiri saya," katanya.

Rusman mengatakan di sisi lain, sebenarnya para petani juga merasa bersalah karena menjual cabai dengan harga tinggi. Petani sebenarnya tidak ingin menjual dengan harga Rp40.000 per kg untuk cabai merah keriting. Menurutnya, harga Rp15.000 per kg adalah tingkat paling aman di petani.

"Sebenarnya petani kita juga feeling guilty, mereka ngga enak juga jual dengan harga Rp40.000. Mereka juga pengen menjual lebih rendah dari itu sehingga yang ideal kira-kira Rp15.000. Mereka juga pengen kepastian harga cabai," katanya.

Komoditas cabai memang sangat rentan terhadap waktu. Komoditas ini lain seperti beras dimana Perum Bulog bisa membeli beras petani dan bisa menyetoknya di gudang.

BPS mengumumkan berdasarkan hasil pemantauan harga-harga pedesaan di 32 provinsi di Indonesia per Januari 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) secara nasional naik 0,25% dibanding NTP Desember 2010, yakni dari 102,75 menjadi 103,01. (hwi)

read more

Prev Prev Home
 

Follow

Buku Tamu No Link