Usulan tersebut dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas membahas pelindungan TKI di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat.
"Sedang dirumuskan memberi HP pada orang per orang tenaga kerja kita, harus disampaikan kepada siapa konsulat jenderal kita, juga di dalam negeri, setiap saat, `real time', no telepon yang bisa dihubungi untuk dia komunikasi secara instan kemudian sistem bekerja. Ini sedang kita rumuskan, dilaksanakan di waktu yang akan datang," jelasnya.
Presiden mengakui selama ini pemerintah tergolong lambat mengetahui informasi TKI yang mengalami kekerasaan ataupun masalah lain seperti gaji yang tidak dibayarkan.
Apalagi, menurut Presiden, memang terdapat semacam ketertutupan di Arab Saudi sehingga TKI yang bermasalah di negara tersebut tidak mudah diketahui nasibnya oleh pemerintah.
"Selama ini seringnya terlambat kita mengetahui kalau saudara-saudara kita mengalami masalah serius, apalagi di Saudi Arabia dilaporkan para menteri memang ada semacam ketertutupan tidak mudah mendapatkan informasi segera yang cepat,? ujarnya.
Untuk itu, Presiden mengatakan pemerintah akan mengevaluasi keberadaan TKI di negara-negara tertentu yang ternyata tidak mudah dilakukan kesepakatan dalam bentuk nota kesepahaman pada tingkat bilateral untuk perlindungan para TKI.
Pemerintah, lanjut Kepala Negara, menginginkan suatu keterbukaan serta kerjasama yang baik antara negara penerima TKI serta kontrak yang transparan antara pekerja dan penerima TKI di negara tersebut.
"Pemerintah Indonesia ingin suatu `fairness", kerjasama, sikap yang kooperatif, karena sebetulnya tenaga kerja kita itu bekerja untuk ekonomi mereka. Ada `take and give', `supply and demand', bukan begitu saja terjadi. Untuk itu harus ada kesepakatan antara pemerintah pada tingkat bilateral dan kontrak seperti yang sudah kita lakukan dengan Malaysia," tutur Presiden.
Presiden mengatakan pemerintah akan meninjau kembali kerjasama dengan negara-negara penerima TKI meski sebagian besar telah memiliki nota kepehamanan untuk keamanan dan perlindungan TKI.
Apabila terdapat negara yang tidak memberikan transparansi dan tidak mau membuat nota kepahamanan, lanjut Presiden, pemerintah akan melakukan langkah diplomasi maksimal dan apabila upaya tersebut gagal maka pemerintah akan berbicara dengan TKI yang berada di negara tesebut.
"Karena pemerintah ingin melindungi mereka meski bekerja itu pilihan, tetapi negara, pemerintah, ingin melindungi mereka. Terhadap satu, dua negara, yang masih belum memiliki instrumen, belum menunjukkan `fairness', keterbukaan, akan kita pastikan bisa dilakukan begitu,' jelas Presiden.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan negara-negara di Timur Tengah pada umumnya memang tidak mengenal nota kesepahaman untuk tenaga kerja di sektor informal.
Namun Marty menolak menjelaskan ketertutupan informasi di Arab Saudi seperti yang disampaikan oleh Presiden Yudhoyono dalam pengantar penutup rapat.
Rapat Kabinet Terbatas dihadiri oleh Wakil Presiden Boediono, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari, Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo, serta Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto.
Dalam rapat tersebut, Presiden meminta agar kasus Sumiati diusut tuntas dan satu kasus lainnya, yaitu pembunuhan seorang TKI asal Jawa Barat di Arab Saudi dapat diperjelas informasinya karena pemerintah masih menerima keterangan yang simpang siur.
"Kita ingin pastikan bahwa Sumiati dan satu lagi sedang dicek karena informasinya agak berbeda satu sama lain. Kita ingin pastikan juga bahwa dua insiden ini betul-betul dilakukan investigasi secara tuntas," demikian Presiden.