"KALAU fiskal ke luar negeri dihapus, negara akan kehilangan pemasukan Rp1,2 triliun per tahun." Dirjen Pajak Hadi Purnomo mengatakan hal itu pada pertengahan Agustus tahun lalu.
Pada saat itu, pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah mempersiapkan keputusan presiden untuk menghapus fiskal. Rencananya penghapusan itu berlaku Januari 2005 (Media, 19/8/04).
Angka Rp1,2 triliun tidaklah kecil. Namun, apakah hanya sebesar itu? Menurut data yang diperoleh Media, jumlah orang bepergian ke luar negeri di atas angka yang disebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Presiden, setiap hari sekitar 7.000 orang bepergian ke luar negeri lewat Bandara Soekarno-Hatta. Menurut catatan Angkasa Pura selaku pengelola bandara, Januari lalu tidak kurang dari 254.000 orang berangkat ke luar negeri.
Jumlah tersebut menurun pada Februari menjadi 204.500. Meningkat kembali pada Maret menjadi 210.000 orang. Dari tiga bulan tersebut, rata-rata penumpang yang berangkat ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta sekitar 7.430 orang per hari.
Jika 30% yang bebas fiskal, penumpang yang membayar fiskal senilai Rp1 juta sebanyak 5.200 orang. Artinya, dalam sehari negara menerima pemasukan fiskal dari satu bandara internasional sebesar Rp5,2 miliar.
Dalam sebulan sekitar Rp156 miliar. Setahun mencapai Rp1,872 triliun atau lebih Rp600 miliar dari angka yang disebutkan Dirjen Pajak. Itu pun baru dari satu bandara. Sejumlah bandara lain juga sangat potensial mendapatkan pajak dari fiskal, misalnya Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Pada Januari lalu, dari Ngurah Rai, orang yang berangkat ke luar negeri berjumlah 123.952 orang. Turun menjadi 108.336 pada Februari 2005. Kembali meningkat pada Maret menjadi 120.697 orang. Selama tiga bulan tersebut, rata-rata keberangkatan ke luar negeri sekitar 3.900 orang.
Jika 30% dari 3.900 orang bebas fiskal, sebanyak 2.700 penumpang wajib membayar fiskal. Jika semua uang itu masuk kas negara, seharusnya negara menerima pemasukan Rp2,7 miliar per hari. Sebulannya, tidak kurang dari Rp81 miliar atau hampir Rp1 triliun per tahun dari Bandara Ngurah Rai.
"Biasanya, dari seluruh penumpang yang ke luar negeri, yang bebas fiskal tidak sampai 30%. Kecuali wilayah perbatasan seperti Batam dan Pontianak," ujar seorang petugas bandara yang tidak mau disebutkan namanya.
Dari dua bandara internasional itu bisa dipastikan penerimaan negara dari fiskal seharusnya bisa mencapai Rp3 triliun per tahun. Angka tersebut belum termasuk dari bandara internasional lainnya seperti Djuanda Surabaya atau Polonia Medan, serta jalur darat dan laut.
Jika kalangan pajak hanya menyetorkan Rp1,2 triliun per tahun, kebocoran uang negara dari pendapatan fiskal selama ini sungguh luar biasa.
Kalau saja dalam setahun negara mengalami kebocoran dana fiskal di atas Rp1,8 triliun, negara telah mengalami kerugian sejak 1998 sampai 2004 tidak kurang dari Rp10,8 triliun.
Kapolres Bandara Soekarno-Hatta AKB Firman S berpendapat kebocoran itu sebenarnya dapat dicegah. Hanya saja niat untuk mengemban tugas sebagai aparatur negara belum merata di seluruh jajaran terkait.
"Di bandara, polisi itu sudah banyak. Petugas pajak adalah polisi uang. Imigrasi polisi orang. Bea cukai polisi barang. Polisi sendiri bertugas mengamankan bandara. Jika semua polisi ini bertugas dengan baik, hal seperti itu tidak akan terjadi. Semua memiliki tugas fungsional masing-masing," ujar Firman, putra mantan Wakil Presiden Try Sutrino itu kepada Media di kantornya, Jumat (13/5).
Menurut Firman, tidak mungkin pihak kepolisian bertindak gegabah dengan menangkapi tersangka tanpa disertai barang bukti. Apalagi, pajak, imigrasi, maupun bea cukai, memiliki undang-undang sendiri.
Untuk mendapatkan bukti itu, Firman mengaku agak sulit karena cara kerja pelaku sudah seperti mafia. Media menyaksikan sendiri bagaimana rapinya petugas melayani pembeli fiskal murah.
Kejadiannya Kamis (12/5) siang. Suami istri usia 60 tahunan beserta seorang pria berusia sekitar 35 tahun turun dari mobil Kijang warna perak di depan terminal 2D. Barangnya tidak terlalu banyak. Hanya tiga tas ukuran sedang.
Media dengan seksama mengamati. Mereka berhenti di depan pintu 1. Tiba-tiba seorang pemuda dengan kemeja berwarna gelap menghampiri. Entah apa yang mereka bicarakan. Pria tua tadi mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang. Tidak jelas berapa lembar yang dikeluarkan kemudian diberikan kepada si pemuda.
Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sejumlah kertas kepada sang pemuda. Sepertinya tiket serta dokumen perjalanan (paspor dan visa). Keempat orang itu masuk ke dalam bandara. Kali ini sang pemuda yang memimpin rombongan.
Seperti biasa, petugas bandara memeriksa setiap orang yang masuk. Rombongan kecil ini hanya dilirik sejenak lalu dipersilakan masuk. Setelah berada di dalam, ketiga orang itu hanya berdiri santai. Sang pemuda pergi melakukan check in.
Media terus mengamati apa yang dilakukan pemuda tadi. Setelah urusan check in selesai, ia masuk ke sebuah ruangan. Sekitar lima belas menit kemudian, ia muncul kembali dan memberikan isyarat melalui tangannya agar ketiga calon penumpang mengikuti.
Mereka berjalan melalui posko fiskal tanpa hambatan, kemudian melewati pintu imigrasi dan masuk ke kawasan ruang tunggu keberangkatan luar negeri. Tugas pemuda itu selesai. Mereka bersalaman.
Berlangganan
Seorang petugas di bandara mengungkapkan ketiga orang tadi merupakan langganan. "Hampir setiap bulan mereka ke luar negeri. Paling sering ke Singapura dan Hong Kong," tuturnya.
Menurutnya, suami istri beserta seorang sanak keluarganya itu senang menggunakan jasa calo karena semua urusan mulai dari A sampai Z akan diurus dengan baik. Mereka tinggal terima jadi.
"Biasalah warga keturunan tidak mau bertele-tele. Bukan karena mengirit uang, tapi ia lebih senang tidak berurusan dengan petugas pajak dan imigrasi," tuturnya.
Petugas berseragam putih biru itu menyebutkan untuk tiga orang, pria tua tadi membayar sebesar Rp2 juta. "Itu sudah termasuk airport tax," ujarnya lagi.
Tugas penjual jasa sangat mudah. Setelah melakukan check in, ia masuk kantor pajak yang terletak antara pintu 1 dan 2. Di dalam kantor itulah diduga transaksi berlangsung. Petugas di dalam kantor akan mengecap paspor tanda telah melalui pemeriksaan fiskal.
"Saya tidak mau memberi tahu berapa bayaran untuk sekali cap di ruang pemeriksaan. Silakan coba sendiri," ujarnya menjawab Media yang terus mempertanyakan berapa bayaran per orang untuk mendapatkan cap pajak dari ruangan itu.
Begitu mendapat cap, petugas mengantarkan calon penumpang melewati pintu imigrasi. Seharusnya, sebelum melewati gate imigrasi, calon penumpang harus melewati pintu check fiskal. Namun, hal itu tidak diperlukan karena sudah ada cap.
Kebetulan, desain bandara dibuat sedemikian rupa untuk mendukung kegiatan penggerogotan dana fiskal. Calon penumpang dapat langsung ke imigrasi tanpa melalui pintu check fiskal.
Di pintu imigrasi, petugas kembali bermain. Calon penumpang dibawa melewati pintu khusus kru. Petugas imigrasi sudah mengerti dan hanya memeriksa paspor dan visa. Setelah melintasi pintu imigrasi, tugas aparat itu selesai. Dokumen dikembalikan kepada calon penumpang sambil mengucapkan selamat jalan.
Berapa bayaran untuk meloloskan penumpang tanpa fiskal? "Paling kebagian Rp200.000 per orang. Kita itu baginya rata," jelasnya. Petugas pajak mendapat bagian terbesar. Imigrasi pun dapat jatah. Cuma mereka pintar. Kalau ada masalah, petugas imigrasi lempar batu dengan mengatakan fiskal wewenang petugas pajak.
"Padahal, mereka bisa saja menolak calon penumpang yang tidak memiliki blangko pembayaran fiskal dari bank," terangnya sambil menambahkan begitulah kalau tugas besar dipercayakan kepada 'orang lapar'. (CR-43/Yes/Rdn/X-9)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar
Comment Yuk Biar Lebih Seru....